*Oeh : Dr. Noviardi Ferzi
Nalar publik seolah ingin dibodohi dengan pernyataan penolakan investasi jalan khusus batu bara di Jambi semata-mata karena ada “agenda tersembunyi”. Jangan – jangan yang mendukung punya agenda tersembunyi.
Siapa sih yang tak tergoda untuk berteman dengan kapitalis, meski sebenarnya tak begitu peduli pada mereka yang mendukung, sedikit dirangkul juga karena ada yang mengkritik.
Kritik merupakan substansi dari kegelisahan publik. Karena dalam konteks tata kelola investasi modern, kritik maupun kehati-hatian masyarakat bukanlah sesuatu yang harus dicurigai, tetapi justru merupakan bagian dari mekanisme kontrol publik agar kepentingan umum tidak dikorbankan oleh motif ekonomi jangka pendek.
Baca juga:
Sengkarut Hitam di Koto Boyo, Menyingkap Modus Mafia Batubara Jambi
Aksi Ilegal Mafia Batubara Jambi
Batubara Jambi : Wajah Telanjang Mafia Tambang dari IUP, Reklamasi Hingga Royalti
APBD Jambi dan Batu Bara: Etalase Gagal Paham yang Dipertontonkan
Masyarakat berhak mempertanyakan dampak lingkungan, kerentanan sosial, dan tata kelola transparansi sebelum proyek dikerjakan. Jalan khusus batu bara bukan proyek tanpa risiko: arus truk berat, polusi debu, kerusakan ekosistem, potensi konflik lahan, dan ketidakjelasan distribusi manfaat ekonomi adalah realitas yang sering muncul di banyak daerah penghasil komoditas.
Jadi, keberatan masyarakat justru bisa dibaca sebagai bentuk perlindungan dini agar dampaknya tidak jatuh kepada mereka di ujung proses ketika semuanya sudah terlaksana dan sulit ditarik mundur.
Mengatakan bahwa karena proyek ini dibiayai swasta maka otomatis aman juga terlalu menyederhanakan. Skema pembiayaan tidak menghapus kewajiban keterbukaan dan mitigasi dampak.
Investor tetap wajib menjelaskan rencana kompensasi, keterlibatan masyarakat, parameter AMDAL, serta mekanisme pengawasan publik.
Apalagi pengalaman di banyak daerah menunjukkan bahwa kenaikan harga tanah serta peluang kerja tidak selalu dirasakan merata; manfaat ekonomi sering terkonsentrasi pada segelintir pemilik modal dan elite lokal, sementara kerusakan lingkungan dibayar oleh masyarakat luas.
Justru karena proyek belum dibangun maka wajar apabila publik mulai menyampaikan kehati-hatian. Kritik pra-pembangunan bukan “agenda tertentu”, tetapi instrumen akuntabilitas.
Dalam sistem demokrasi dan investasi yang berkeadaban, ruang kritik dan keberatan masyarakat harus dihormati sebagai bagian dari proses memastikan bahwa pembangunan – meskipun digerakkan investor – tetap tunduk pada norma tata kelola, keterbukaan, dan keadilan sosial.
Pada titik ini, narasi tudingan “ada agenda di balik penolakan” lebih berbahaya daripada kritik itu sendiri, karena berpotensi men-stigma masyarakat sebagai pihak berkepentingan, padahal yang terpenting justru menjawab dulu seluruh keraguan publik secara transparan.
Setelah itu, pertanyaan tentang siapa yang punya agenda menjadi tidak relevan. Sebab investasi tanpa dialog publik yang sehat pasti tidak bisa menumbuhkan kepercayaan; sebaliknya, justru akan menumbuhkan kecurigaan. Publik itu mengkritik, bukan beragenda.(*)
*Penulis adalah akademisi dan pengamat ekonomi tinggal di Kota Jambi
Editor: Admin

