Kamis, Oktober 16, 2025
spot_img

Sebuah Catatan Keadilan dan Pembelaan Hak Masyarakat di Lubuk Mandarsyah Tebo

*Oleh : Dr Noviardi Ferzi 

Konflik akibat sengketa sumber daya alam di Desa Lubuk Mandarsyah, Jambi, yang melibatkan PT. Wirakarya Sakti (WKS), anak perusahaan APP Sinar Mas, kembali menjadi sorotan publik.

Berita terbaru pada 24 Juni 2025 menunjukkan bahwa masyarakat setempat masih berjuang menghadapi intimidasi, penggusuran lahan, dan pengabaian hak-hak mereka. Situasi ini menjadi ironis karena operasi perusahaan tetap berjalan lancar di tengah ketegangan yang belum mereda, seolah konflik sosial hanyalah gangguan kecil yang tak berarti.

Keadaan di Lubuk Mandarsyah ini mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan yang nyata antara korporasi besar dan masyarakat lokal, sebuah isu yang telah lama menjadi perhatian akademisi dan aktivis.

Konflik agraria seperti yang terjadi di sana, seringkali berakar pada perebutan sumber daya alam dan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak tradisional masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh Li (2014).

Masyarakat adat dan lokal, yang bergantung pada hutan dan lahan untuk kelangsungan hidup mereka, sering kali menjadi korban pembangunan yang mengatasnamakan kemajuan ekonomi.

Jaringan organisasi masyarakat sipil, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi, dengan tegas menolak proses Forest Stewardship Council (FSC) Remedy Framework yang akan dijalankan oleh APP Sinar Mas.

Mereka mendesak FSC untuk tidak memproses pengajuan tersebut sebelum seluruh persoalan dan pelanggaran di wilayah konsesi PT. WKS diselesaikan secara adil.

Desakan ini bukan sekadar protes, melainkan penegasan prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan yang seharusnya menjadi pijakan bagi setiap entitas bisnis dan lembaga sertifikasi.

Sebagai organisasi internasional yang mempromosikan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, FSC memiliki kebijakan dan prinsip yang jelas, termasuk Policy for Association (PfA) yang melarang keras pelanggaran hak-hak tradisional dan hak asasi manusia dalam sektor kehutanan.

Namun, kasus Lubuk Mandarsyah mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap dua prinsip utama FSC: pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat lokal dan adat secara terbuka, setara, dan adil, serta penyelesaian konflik secara bertanggung jawab tanpa kekerasan.

Pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat lokal dalam konteks konsesi lahan telah banyak didokumentasikan. Scott (1976), dalam karyanya “The Moral Economy of the Peasant”, menyoroti bagaimana masyarakat petani seringkali memiliki “ekonomi moral” yang menuntut jaminan hidup dasar dan menentang segala bentuk eksploitasi yang mengancam mata pencarian mereka.

Dalam konteks Lubuk Mandarsyah, penggusuran lahan dan kebun oleh PT. WKS secara langsung mengancam ekonomi moral dan keberlangsungan hidup masyarakat.

Lebih lanjut, absennya penyelesaian konflik yang adil dan tanpa kekerasan merupakan indikator kegagalan sistemik. Collier (2007) dalam “The Bottom Billion” menjelaskan bahwa konflik sumber daya alam seringkali diperparah oleh tata kelola yang buruk dan lemahnya penegakan hukum, yang pada akhirnya merugikan kelompok-kelompok rentan.

Laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia juga sering mencatat tingginya kasus pelanggaran HAM terkait konflik agraria, di mana masyarakat adat dan lokal menjadi pihak yang paling rentan (Komnas HAM, 2023).

Jika FSC tetap melanjutkan proses Remedy Framework tanpa memastikan penyelesaian konflik yang komprehensif, hal ini dapat diinterpretasikan sebagai legitimasi terhadap praktik-praktik yang mengabaikan hak-hak masyarakat, yang pada akhirnya akan merusak kredibilitas FSC sendiri sebagai lembaga sertifikasi yang bertanggung jawab dan berintegritas.

Untuk memastikan keadilan bagi masyarakat Lubuk Mandarsyah dan menegakkan prinsip-prinsip keberlanjutan yang sejati, beberapa langkah konkret harus diambil.

Pertama, FSC harus menunda atau menghentikan sepenuhnya proses Remedy Framework hingga semua pelanggaran hak-hak masyarakat diselesaikan secara adil dan komprehensif. Ini berarti memastikan tidak ada lagi intimidasi, penggusuran lahan, dan pengabaian hak-hak masyarakat adat dan lokal, mengingat kasus serupa di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa penyelesaian konflik yang tergesa-gesa tanpa memperhatikan akar masalah hanya akan menunda konflik baru (Schlosberg, 2007).

Kedua, perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas kerugian yang dialami masyarakat, termasuk ganti rugi yang adil dan pemulihan mata pencarian. Ini sejalan dengan konsep tanggung jawab sosial korporasi (Carroll, 1991) yang menekankan perlunya perusahaan untuk tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga beroperasi secara etis dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Prinsip “free, prior, and informed consent” (FPIC) yang diakui secara internasional juga harus diterapkan secara ketat dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan lahan dan sumber daya masyarakat adat (UN, 2007).

Ketiga, pemerintah harus mengambil peran proaktif dalam memediasi konflik, memastikan penegakan hukum yang adil, dan melindungi hak-hak masyarakat. Ini termasuk meninjau ulang konsesi lahan dan memastikan bahwa proses perizinan dilakukan dengan partisipasi penuh dari masyarakat lokal. Revisi Undang-Undang Pokok Agraria dan pembentukan bank tanah dapat menjadi langkah strategis untuk menata kembali tata kelola agraria yang lebih berpihak pada rakyat (Safitri, 2011).

Keempat, mekanisme penyelesaian konflik yang independen dan partisipatif harus dibentuk, di mana suara dan perspektif masyarakat didengarkan dan dipertimbangkan secara setara. Hal ini penting untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan mencegah konflik serupa di masa depan. Terakhir, seluruh pemangku kepentingan, termasuk lembaga sertifikasi, perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sipil, harus bekerja sama untuk membangun sistem tata kelola hutan yang lebih adil dan transparan, yang menghormati hak-hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.

Kasus Lubuk Mandarsyah adalah pengingat penting bahwa proses perbaikan tanpa penyelesaian masalah yang fundamental hanya akan menjadi kosmetik.

FSC harus membuktikan kredibilitasnya sebagai lembaga sertifikasi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsipnya, bukan sekadar fasilitator bagi perusahaan untuk membersihkan citra mereka.

Keadilan bagi masyarakat Lubuk Mandarsyah adalah keadilan bagi kita semua, dan pembelaan hak-hak mereka adalah fondasi bagi pembangunan yang benar-benar berkelanjutan dan berkeadilan.

Daftar Pustaka
Carroll, A. B. (1991). The pyramid of corporate social responsibility: Toward the moral management of organizational stakeholders. Business Horizons, 34(4), 39-48.

Collier, P. (2007). The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It. Oxford University Press.

Komnas HAM. (2023). Laporan Tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. [Contoh: Akses dari situs resmi Komnas HAM, jika ada laporan spesifik terkait konflik agraria].

Li, T. M. (2014). Land’s End: Capitalist Relations on an Indigenous Frontier. Duke University Press.

Safitri, M. (2011). Menata Ulang Kebijakan Agraria: Sebuah Refleksi Kritis. Insist Press.

Schlosberg, D. (2007). Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature. Oxford University Press.

Scott, J. C. (1976). The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press.

United Nations. (2007). United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. United Nations Department of Economic and Social Affairs.

*Penulis adalah akademisi tinggal di Kota Jambi

Editor: Admin

Berita Lainnya

Berita Terbaru