Jambi, Beritabicara.com – Keluhan sejumlah kepala daerah, termasuk Gubernur Jambi Al Haris, atas turunnya alokasi Transfer ke Daerah (TKD) yang dinilai mempersulit pembiayaan Tunjangan Pegawai (TPP) dan belanja operasional, mendapat tanggapan tegas dari kalangan pengamat kebijakan publik.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan menegaskan bahwa penurunan TKD bukanlah pemotongan sepihak, melainkan bagian dari reformasi fiskal nasional.
Kebijakan ini diarahkan untuk memperkuat efektivitas belanja publik dan menuntut pemerintah daerah agar lebih kreatif dalam mengelola keuangannya.
Baca juga:
Gelar Aksi di Kejati Jambi, MPRJ Laporkan Dinas PUPR Sarolangun dan Kontraktor Mr “T”
PH Jambi Temukan Indikasi Kejahatan Lingkungan di Aktivitas Industri Ekstraktif Batubara PT GAL
Menanggapi hal ini, Dr. Noviardi Ferzi, pengamat kebijakan publik, menilai bahwa keluhan daerah seharusnya tidak berlebihan, sebab secara total dana daerah justru mengalami peningkatan bila dihitung dari berbagai kanal fiskal seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) tematik, Dana Insentif Fiskal (DIF), dan pembiayaan pembangunan melalui skema proyek strategis nasional.
“Masalahnya bukan pada berkurangnya dana, tetapi pada kemampuan daerah menarik dan mengelolanya. Pemerintah pusat kini memberi ruang lebih luas, tapi daerah harus kreatif membawanya,” kata Noviardi di Jakarta, Selasa (8/10/2025).
Menurutnya, pola lama yang bergantung penuh pada transfer pusat sudah tidak relevan. Penyesuaian TKD adalah ‘alarm fiskal’ agar daerah segera berbenah dengan memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD), meningkatkan efisiensi, dan menata kembali prioritas belanja.
“Selama ini daerah terlalu nyaman dengan transfer pusat. Padahal, kunci kemandirian fiskal justru ada pada kemampuan daerah menciptakan sumber pendapatan baru,” ujarnya.
Ia menilai banyak daerah gagal karena terlalu optimistis menargetkan pendapatan, tetapi lemah di sisi realisasi. Dampaknya, defisit melebar, dan proyek-proyek strategis kerap dipangkas atau ditunda. “APBD akhirnya hanya menjadi dokumen formal, bukan alat pembangunan yang hidup,” kritiknya.
Noviardi juga menyoroti pentingnya penataan ulang belanja pegawai. Menurutnya, beban aparatur harus diseimbangkan dengan produktivitas layanan publik. “Jika lebih dari 60 persen APBD habis untuk belanja rutin, maka sulit berbicara pembangunan. Ini saatnya berani memangkas yang tidak produktif,” tegasnya.
Di akhir penjelasannya, Noviardi menekankan bahwa membangun daerah bukan soal angka di atas kertas, melainkan soal dampak nyata bagi masyarakat. Ia menilai kebijakan reformasi fiskal pusat sejalan dengan semangat desentralisasi yang bertanggung jawab.
“Daerah harus menunjukkan kemampuan mengelola keuangan secara sehat. Jika kreatif dan efisien, penurunan TKD bukan ancaman, tapi peluang untuk memperkuat kemandirian dan mempercepat pemerataan pembangunan,” tutupnya.(*)
Editor: Admin